Differences
This shows you the differences between two versions of the page.
Both sides previous revision Previous revision Next revision | Previous revision | ||
sosialekonomi:bekayu [2025/07/15 10:05] – Jihan Sarotama | sosialekonomi:bekayu [2025/07/15 13:18] (current) – Jihan Sarotama | ||
---|---|---|---|
Line 5: | Line 5: | ||
\\ | \\ | ||
Bekayu atau Bebalok adalah salah satu mata pencaharian masyarakat yang bukan petani atau pedagang dengan cara merambah hutan mengambil kayu untuk dijual kembali ke pengepul yang memiliki modal dan pabrik gergaji kayu. Dalam perkembangannya, | Bekayu atau Bebalok adalah salah satu mata pencaharian masyarakat yang bukan petani atau pedagang dengan cara merambah hutan mengambil kayu untuk dijual kembali ke pengepul yang memiliki modal dan pabrik gergaji kayu. Dalam perkembangannya, | ||
+ | |||
+ | {{https:// | ||
+ | |||
+ | < | ||
===== Jenis Kayu yang Dicari dan Nilai Ekonominya ===== | ===== Jenis Kayu yang Dicari dan Nilai Ekonominya ===== | ||
Line 15: | Line 19: | ||
===== Pemanfaatan Tanaman berkayu di Lahan Gambut ===== | ===== Pemanfaatan Tanaman berkayu di Lahan Gambut ===== | ||
- | Pemanfaatan tanaman berkayu di lahan gambut memiliki nilai strategis baik dari sisi ekonomi, ekologi, maupun sosial. Tanaman berkayu seperti Melaleuca leucadendra (gelam), Dyera polyphylla (jelutung), Shorea spp. (meranti), dan Gonystylus bancanus (ramin) telah lama dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber kayu bangunan, bahan bakar, serta produk non-kayu seperti resin dan minyak atsiri. Di lahan gambut, tanaman-tanaman ini menunjukkan adaptasi luar biasa terhadap kondisi ekstrim seperti pH rendah, genangan musiman, dan tanah miskin hara. Kayu gelam, misalnya, diminati karena tahan lembap dan cocok untuk tiang rumah atau pagar, sementara jelutung menghasilkan getah bernilai tinggi yang digunakan dalam industri karet dan farmasi. | + | Pemanfaatan tanaman berkayu di lahan gambut memiliki nilai strategis baik dari sisi ekonomi, ekologi, maupun sosial. Tanaman berkayu seperti Melaleuca leucadendra (gelam), |
Selain itu, pemanfaatan tanaman berkayu juga berperan dalam rehabilitasi lahan gambut terdegradasi melalui pendekatan agroforestri dan paludikultur, | Selain itu, pemanfaatan tanaman berkayu juga berperan dalam rehabilitasi lahan gambut terdegradasi melalui pendekatan agroforestri dan paludikultur, | ||
Line 21: | Line 25: | ||
===== Peran Sosial dan Ekonomi ===== | ===== Peran Sosial dan Ekonomi ===== | ||
- | Bagi banyak masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gambut dan hutan rawa, kegiatan bekayu yakni pencarian dan penggalian kayu terendam di dalam tanah gambut—telah menjadi mata pencaharian alternatif yang krusial, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan pertanian atau akses terhadap pekerjaan formal. Aktivitas ini tidak hanya menyediakan penghasilan harian, tetapi juga menjadi “penyelamat ekonomi” saat musim paceklik atau ketika harga komoditas pertanian anjlok. | + | Bagi banyak masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gambut dan hutan rawa, kegiatan bekayu yakni pencarian dan penggalian kayu terendam di dalam tanah gambut, telah menjadi mata pencaharian alternatif yang krusial, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan pertanian atau akses terhadap pekerjaan formal. Aktivitas ini tidak hanya menyediakan penghasilan harian, tetapi juga menjadi “penyelamat ekonomi” saat musim paceklik atau ketika harga komoditas pertanian anjlok. |
Dalam wawancara lapangan yang dilakukan oleh El Amady (2014), seorang pelaku bekayu di Riau menyatakan, “Kalau tidak ada kayu ini, anak saya tidak bisa sekolah. Waktu harga karet jatuh, hanya dari kayu ini kami bisa makan.” Kisah seperti ini mencerminkan bagaimana bekayu menjadi bentuk adaptasi ekonomi masyarakat terhadap tekanan struktural dan keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif lainnya. Meskipun pekerjaan ini berat dan penuh risiko termasuk ancaman kebakaran lahan dan kerusakan ekologis, banyak pelakunya tetap bertahan karena tidak ada alternatif yang lebih layak secara ekonomi. | Dalam wawancara lapangan yang dilakukan oleh El Amady (2014), seorang pelaku bekayu di Riau menyatakan, “Kalau tidak ada kayu ini, anak saya tidak bisa sekolah. Waktu harga karet jatuh, hanya dari kayu ini kami bisa makan.” Kisah seperti ini mencerminkan bagaimana bekayu menjadi bentuk adaptasi ekonomi masyarakat terhadap tekanan struktural dan keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif lainnya. Meskipun pekerjaan ini berat dan penuh risiko termasuk ancaman kebakaran lahan dan kerusakan ekologis, banyak pelakunya tetap bertahan karena tidak ada alternatif yang lebih layak secara ekonomi. | ||
Line 29: | Line 33: | ||
Kegiatan penggalian kayu di lahan gambut, seperti praktik bekayu, membawa risiko lingkungan yang signifikan jika tidak dilakukan secara hati-hati dan terencana. Salah satu dampak utama adalah subsiden atau penurunan permukaan tanah gambut akibat terganggunya struktur lapisan organik yang selama ini terjaga dalam kondisi jenuh air. Ketika lapisan gambut dibuka dan terekspos udara, terjadi proses oksidasi yang mempercepat dekomposisi bahan organik, melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, dan menyebabkan tanah menyusut serta mengeras. | Kegiatan penggalian kayu di lahan gambut, seperti praktik bekayu, membawa risiko lingkungan yang signifikan jika tidak dilakukan secara hati-hati dan terencana. Salah satu dampak utama adalah subsiden atau penurunan permukaan tanah gambut akibat terganggunya struktur lapisan organik yang selama ini terjaga dalam kondisi jenuh air. Ketika lapisan gambut dibuka dan terekspos udara, terjadi proses oksidasi yang mempercepat dekomposisi bahan organik, melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, dan menyebabkan tanah menyusut serta mengeras. | ||
- | Studi oleh Hooijer et al. (2012) menunjukkan bahwa laju subsiden di lahan gambut tropis Indonesia dapat mencapai 4–6 cm per tahun, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hilangnya fungsi drainase alami serta meningkatkan risiko banjir dan kehilangan produktivitas lahan. Selain itu, penggalian gambut di musim kemarau memperbesar potensi kebakaran lahan, karena lapisan gambut yang kering sangat mudah terbakar dan api dapat menyebar secara bawah tanah, sulit dipadamkan, serta menghasilkan emisi karbon yang masif. Kebakaran ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi lokal. | + | Studi oleh Hooijer |
===== Regulasi ===== | ===== Regulasi ===== | ||
Line 37: | Line 40: | ||
Di tingkat lokal, beberapa desa mencoba mengatur praktik bekayu melalui Peraturan Desa (Perdes) sebagai bentuk pengakuan terhadap praktik tradisional dan sumber penghidupan masyarakat. Namun, Perdes hanya memiliki kekuatan hukum terbatas dan harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi dalam hierarki perundang-undangan. | Di tingkat lokal, beberapa desa mencoba mengatur praktik bekayu melalui Peraturan Desa (Perdes) sebagai bentuk pengakuan terhadap praktik tradisional dan sumber penghidupan masyarakat. Namun, Perdes hanya memiliki kekuatan hukum terbatas dan harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi dalam hierarki perundang-undangan. | ||
- | Tantangan utama yang dihadapi masyarakat adalah sulitnya memperoleh akses legal ke kawasan hutan, terutama karena status kawasan yang belum jelas atau tumpang tindih dengan izin konsesi perusahaan. Selain itu, pengangkutan kayu hasil bekayu sering kali terhambat karena tidak memiliki dokumen legal seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), yang menyebabkan masyarakat rawan terkena razia atau tekanan dari aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, masyarakat bahkan mengalami kriminalisasi karena dianggap melakukan pembalakan liar, meskipun aktivitas mereka bersifat subsisten dan tidak merusak tegakan hutan hidup. | + | Tantangan utama yang dihadapi masyarakat adalah sulitnya memperoleh akses legal ke kawasan hutan, terutama karena status kawasan yang belum jelas atau tumpang tindih dengan izin konsesi perusahaan. Selain itu, pengangkutan kayu hasil bekayu sering kali terhambat karena tidak memiliki dokumen legal seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), yang menyebabkan masyarakat rawan terkena razia atau tekanan dari aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, masyarakat bahkan mengalami kriminalisasi karena dianggap melakukan pembalakan liar, meskipun aktivitas mereka bersifat subsisten dan tidak merusak tegakan hutan hidup.\\ |
\\ | \\ | ||
Situasi ini menunjukkan perlunya pendekatan regulasi yang lebih inklusif dan berbasis keadilan ekologis, yang mengakui praktik bekayu sebagai bagian dari strategi bertahan hidup masyarakat marginal di lahan gambut. Penguatan kelembagaan desa, pengakuan hak kelola masyarakat adat, serta penyederhanaan akses izin berbasis komunitas menjadi langkah penting untuk menjembatani antara legalitas formal dan realitas sosial-ekonomi di lapangan. | Situasi ini menunjukkan perlunya pendekatan regulasi yang lebih inklusif dan berbasis keadilan ekologis, yang mengakui praktik bekayu sebagai bagian dari strategi bertahan hidup masyarakat marginal di lahan gambut. Penguatan kelembagaan desa, pengakuan hak kelola masyarakat adat, serta penyederhanaan akses izin berbasis komunitas menjadi langkah penting untuk menjembatani antara legalitas formal dan realitas sosial-ekonomi di lapangan. |