Bekayu
Bekayu atau Bebalok adalah salah satu mata pencaharian masyarakat yang bukan petani atau pedagang dengan cara merambah hutan mengambil kayu untuk dijual kembali ke pengepul yang memiliki modal dan pabrik gergaji kayu. Dalam perkembangannya, dahulu masyarakat bekayu dilakukan dengan cara menebang kayu dihutan yang masih utuh dan banyak jenis kayunya seperti Meranti, Pulai, Ramin, Jelutung dan sebagainya, kegiatan ini dilakukan ketika hutan masih utuh antara tahun 1960 - 1990. Sekarang bekayu itu dilakukan masyarakat dengan mencari kayu sisa yang terkubur di gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… yang dilakukan menggunakan behel. Kegiatan ini dilakukan mulai tahun 1990 hingga sekarang.
Jenis Kayu yang Dicari dan Nilai Ekonominya
Jenis-jenis kayu yang masih dicari hingga kini dari dalam gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… mencakup meranti (Shorea spp.), jelutung (Dyera spp.), ramin (Gonystylus bancanus), pulai (Alstonia scholaris), dan bintangur (Calophyllum spp.). Kayu-kayu ini memiliki nilai ekonomi tinggi karena kualitasnya yang baik, terutama dalam konstruksi, kerajinan, dan industri kayu lapis. Meranti, misalnya, merupakan komoditas utama dalam industri perkayuan tropis Asia dan mendominasi hutan hujan dataran rendah di Kalimantan, dengan sekitar 67% pohon berasal dari genus ini. Jelutung tidak hanya menghasilkan kayu ringan untuk mebel dan alat musik, tetapi juga getah bernilai tinggi yang digunakan dalam industri karet, kosmetik, dan perekat. Ramin, yang tumbuh di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm dangkal dengan pH rendah, dikenal karena seratnya yang halus dan digunakan dalam pembuatan furniture dan dekorasi interior. Pulai dan bintangur juga diminati karena kayunya yang ringan dan mudah diolah, serta potensi bioenergi dari biji bintangur sebagai bahan bakar nabati.
Kayu-kayu yang telah lama terendam di dalam gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… tetap diminati karena kualitasnya yang unik. Proses perendaman dalam kondisi anaerobik dan asam gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… justru memperlambat dekomposisi biologis, sehingga kayu tetap padat, keras, dan tahan terhadap serangan hama. Kayu bekas gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… ini seringkali memiliki warna yang lebih gelap dan tekstur yang lebih padat, menjadikannya bahan premium untuk pasar khusus. Di beberapa daerah, harga kayu bekas gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… seperti meranti dan ramin dapat mencapai Rp2–3 juta per meter kubik tergantung ukuran dan kualitas, bahkan lebih tinggi untuk jenis yang langka atau berdiameter besar. Nilai ekonominya juga meningkat karena permintaan dari industri restorasi bangunan, kerajinan bernilai tinggi, dan pasar ekspor yang menghargai karakteristik kayu tua yang tahan lama.
Pemanfaatan Tanaman berkayu di Lahan Gambut
Pemanfaatan tanaman berkayu di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm memiliki nilai strategis baik dari sisi ekonomi, ekologi, maupun sosial. Tanaman berkayu seperti Melaleuca leucadendra (gelam), Dyera polyphylla (jelutung), Shorea spp. (meranti), dan Gonystylus bancanus (ramin) telah lama dimanfaatkan masyarakat sebagai sumber kayu bangunan, bahan bakar, serta produk non-kayu seperti resin dan minyak atsiri. Di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm, tanaman-tanaman ini menunjukkan adaptasi luar biasa terhadap kondisi ekstrim seperti pH rendah, genangan musiman, dan tanah miskin hara. Kayu gelam, misalnya, diminati karena tahan lembap dan cocok untuk tiang rumah atau pagar, sementara jelutung menghasilkan getah bernilai tinggi yang digunakan dalam industri karet dan farmasi.
Selain itu, pemanfaatan tanaman berkayu juga berperan dalam rehabilitasi lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm terdegradasi melalui pendekatan agroforestri dan paludikultur, di mana spesies lokal ditanam tanpa perlu drainase ekstrem, sehingga tetap menjaga fungsi hidrologi gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…. Praktik ini tidak hanya mendukung konservasi karbon dan keanekaragaman hayati, tetapi juga membuka peluang ekonomi bagi masyarakat lokal melalui skema kehutanan rakyat atau usaha berbasis komunitas. Namun, pemanfaatan ini harus dilakukan secara lestari dan terencana, mengingat tekanan terhadap hutan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… akibat eksploitasi berlebihan dapat mempercepat degradasi ekosistem dan emisi karbon.
Peran Sosial dan Ekonomi
Bagi banyak masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… dan hutan rawa, kegiatan bekayu yakni pencarian dan penggalian kayu terendam di dalam tanah gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany…, telah menjadi mata pencaharian alternatif yang krusial, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan pertanian atau akses terhadap pekerjaan formal. Aktivitas ini tidak hanya menyediakan penghasilan harian, tetapi juga menjadi “penyelamat ekonomi” saat musim paceklik atau ketika harga komoditas pertanian anjlok.
Dalam wawancara lapangan yang dilakukan oleh El Amady (2014), seorang pelaku bekayu di Riau menyatakan, “Kalau tidak ada kayu ini, anak saya tidak bisa sekolah. Waktu harga karet jatuh, hanya dari kayu ini kami bisa makan.” Kisah seperti ini mencerminkan bagaimana bekayu menjadi bentuk adaptasi ekonomi masyarakat terhadap tekanan struktural dan keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif lainnya. Meskipun pekerjaan ini berat dan penuh risiko termasuk ancaman kebakaran lahan dan kerusakan ekologis, banyak pelakunya tetap bertahan karena tidak ada alternatif yang lebih layak secara ekonomi.
Risiko dan Dampak Lingkungan
Kegiatan penggalian kayu di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm, seperti praktik bekayu, membawa risiko lingkungan yang signifikan jika tidak dilakukan secara hati-hati dan terencana. Salah satu dampak utama adalah subsiden atau penurunan permukaan tanah gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… akibat terganggunya struktur lapisan organik yang selama ini terjaga dalam kondisi jenuh air. Ketika lapisan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… dibuka dan terekspos udara, terjadi proses oksidasi yang mempercepat dekomposisi bahan organik, melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, dan menyebabkan tanah menyusut serta mengeras.
Studi oleh Hooijer et al. (2012) menunjukkan bahwa laju subsiden di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm tropis Indonesia dapat mencapai 4-6 cm per tahun, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hilangnya fungsi drainase alami serta meningkatkan risiko banjir dan kehilangan produktivitas lahan. Selain itu, penggalian gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… di musim kemarau memperbesar potensi kebakaran lahan, karena lapisan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigGambut
<[lahan gambut]Ekosistem Gambut Primer di Laboratorium Alam CIMPTROP, Kalimantan Tengah>
Gambut merupakan material organik yang terbentuk secara alami berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang terdekomposisi tidak sempurna dengan ketebalan 50 (lima puluh) centimeter atau lebih dan terakumulasi pada areal rawa. Secara harfiah Gambut berasal dari bahasa Banjar untuk menyebut tanah non-mineral yang berasal dari akumulasi bahan organik yang tidak terdekomposisi sempurna pada daerah depresi. Bany… yang kering sangat mudah terbakar dan api dapat menyebar secara bawah tanah, sulit dipadamkan, serta menghasilkan emisi karbon yang masif. Kebakaran ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi lokal.
Regulasi
Secara hukum, kegiatan bekayu belum secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Kehutanan Indonesia. Namun, aktivitas ini berada dalam wilayah abu-abu regulasi karena menyangkut pemanfaatan sumber daya hutan yang sering kali dilakukan di kawasan hutan negara tanpa izin resmi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan turunannya, setiap bentuk pemanfaatan hasil hutan, termasuk kayu bekas, memerlukan izin resmi seperti Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Sayangnya, masyarakat pelaku bekayu umumnya tidak memiliki akses terhadap skema perizinan tersebut karena keterbatasan informasi, biaya, dan prosedur administratif yang rumit
Di tingkat lokal, beberapa desa mencoba mengatur praktik bekayu melalui Peraturan Desa (Perdes) sebagai bentuk pengakuan terhadap praktik tradisional dan sumber penghidupan masyarakat. Namun, Perdes hanya memiliki kekuatan hukum terbatas dan harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi dalam hierarki perundang-undangan.
Tantangan utama yang dihadapi masyarakat adalah sulitnya memperoleh akses legal ke kawasan hutan, terutama karena status kawasan yang belum jelas atau tumpang tindih dengan izin konsesi perusahaan. Selain itu, pengangkutan kayu hasil bekayu sering kali terhambat karena tidak memiliki dokumen legal seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), yang menyebabkan masyarakat rawan terkena razia atau tekanan dari aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, masyarakat bahkan mengalami kriminalisasi karena dianggap melakukan pembalakan liar, meskipun aktivitas mereka bersifat subsisten dan tidak merusak tegakan hutan hidup.
Situasi ini menunjukkan perlunya pendekatan regulasi yang lebih inklusif dan berbasis keadilan ekologis, yang mengakui praktik bekayu sebagai bagian dari strategi bertahan hidup masyarakat marginal di lahan gambutplugin-autotooltip__default plugin-autotooltip_bigLahan Gambut
Lahan gambut merupakan bagian dari lanskap ekosistem gambut, salah satu ekosistem khas lahan basah yang dimiliki Indonesia. Gambut berasal dari tanah yang terdapat akumulasi sisa-sisa makhluk hidup yang melapuk, mengandung bahan organik >12% dengan ketebalan lebih dari 50 cm. Penguatan kelembagaan desa, pengakuan hak kelola masyarakat adat, serta penyederhanaan akses izin berbasis komunitas menjadi langkah penting untuk menjembatani antara legalitas formal dan realitas sosial-ekonomi di lapangan.
Pustaka
Saito, H., et al. (2016). Tropical Peatland Forestry: Toward Forest Restoration and Sustainable Use of Wood Resources in Degraded Peatland. In Tropical Peatland Ecosystems (pp. 513–549). Springer.
Bakce, D. (2021). Utilization of Peatlands Based on Local Wisdom and Community Welfare in Riau Province, Indonesia. Academia.edu
UNEP. (2021). Economics of Peatlands Conservation, Restoration and Sustainable Management. UNEP Report
Norisada, M., et al. (2012). A Sustainable Woody Biomass Production System for Tropical Peatlands. International Peatland Society.
Good News From Indonesia. (2024, October 25). Mengenal flora endemik Pulau Kalimantan, harta karun tropis Indonesia. Retrieved July 8, 2025, from https://www.goodnewsfromindonesia.id/2024/10/25/mengenal-flora-endemik-pulau-kalimantan-harta-karun-tropis
Hefni, H., Wulandari, C., & Purwanto, R. H. (2012). Optimalisasi pendapatan hutan tanaman Meranti, Pulai, dan Bayur. Jurnal Hutan Tropis Borneo, 4(2), 153–160. Retrieved from https://ppjp.ulm.ac.id/journal/index.php/jht/article/
Indrayanti, L., Sabarno, Y., & Winarni, N. L. (2019). Peat swamp forest management and indigenous species in Indonesia. Journal of Ecological Engineering, 20(9), 137–143. https://doi.org/10.12911/22998993/102791
Medscape Blog. (n.d.). Peatland wood: Anaerobic preservation in wetlands. Retrieved July 8, 2025, from https://medscape.blog/peatland-wood-anaerobic-preservation
El Amady, M. R. (2014). Tauke dan budaya hutang. AG Litera. Retrieved July 8, 2025, from https://www.academia.edu/43421070/Tauke_dan_Budaya_Hutang
Hooijer, A., Page, S. E., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wösten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO₂ emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, 7(5), 1505–1514. https://doi.org/10.5194/bg-7-1505-2010
Saputra, E. (2019). Beyond fires and deforestation: Tackling land subsidence in peatland areas, a case study from Riau, Indonesia. Land, 8(5), 76. https://doi.org/10.3390/land8050076
WRI Indonesia. (2023, October 5). What is peat subsidence and how can countries prevent this environmental disaster? Retrieved July 8, 2025, from https://wri-indonesia.org/en/insights/what-peat-subsidence-and-how-can-countries-prevent-environmental-disaster
MDPI. (2024). Dynamics of peatland fires in South Sumatra in 2019: Role of groundwater levels. Land, 13(3), 373. https://doi.org/10.3390/land13030373
Wijoyo, S., Salman, R., & Abrianto, B. O. (2017). Making model of village regulation based on good village governance in Indonesia. In Proceedings of the 1st International Conference Postgraduate School Universitas Airlangga (pp. 71–77). Atlantis Press. https://doi.org/10.2991/icpsuas-17.2018.17
Isnaini, E., Yanto, M., & Ramadlan, M. A. (2025). The position of the village regulations in the legal system in Indonesia. Jurnal Independent, 13(1), 35–43. https://doi.org/10.30736/ji.v13i1.366
Tambunan, I., Kurnia, E., & Cipto, S. (2023, December 12). Hutan Adat dalam Sengkarut Izin dan Iklim. Kompas. Retrieved from Rainforest Journalism Fund