Differences
This shows you the differences between two versions of the page.
Both sides previous revision Previous revision Next revision | Previous revision | ||
sosialekonomi:bekayu [2023/02/04 10:52] – Yusi Septriandi | sosialekonomi:bekayu [2025/07/15 13:18] (current) – Jihan Sarotama | ||
---|---|---|---|
Line 1: | Line 1: | ||
+ | ====== | ||
+ | |||
====== Bekayu ====== | ====== Bekayu ====== | ||
- | **Bekayu atau Bebalok** adalah salah satu mata pencaharian masyarakat yang bukan petani atau pedagang dengan cara merambah hutan mengambil kayu untuk dijual kembali ke pengepul yang memiliki modal dan pabrik gergaji kayu. Dalam perkembangannya, | + | \\ |
+ | Bekayu atau Bebalok adalah salah satu mata pencaharian masyarakat yang bukan petani atau pedagang dengan cara merambah hutan mengambil kayu untuk dijual kembali ke pengepul yang memiliki modal dan pabrik gergaji kayu. Dalam perkembangannya, | ||
+ | |||
+ | {{https:// | ||
+ | |||
+ | < | ||
+ | |||
+ | ===== Jenis Kayu yang Dicari dan Nilai Ekonominya ===== | ||
+ | |||
+ | Jenis-jenis kayu yang masih dicari hingga kini dari dalam gambut mencakup meranti (//Shorea spp.//), jelutung (//Dyera spp//.), ramin (// | ||
+ | |||
+ | \\ | ||
+ | Kayu-kayu yang telah lama terendam di dalam gambut tetap diminati karena kualitasnya yang unik. Proses perendaman dalam kondisi anaerobik dan asam gambut justru memperlambat dekomposisi biologis, sehingga kayu tetap padat, keras, dan tahan terhadap serangan hama. Kayu bekas gambut ini seringkali memiliki warna yang lebih gelap dan tekstur yang lebih padat, menjadikannya bahan premium untuk pasar khusus. Di beberapa daerah, harga kayu bekas gambut seperti meranti dan ramin dapat mencapai Rp2–3 juta per meter kubik tergantung ukuran dan kualitas, bahkan lebih tinggi untuk jenis yang langka atau berdiameter besar. Nilai ekonominya juga meningkat karena permintaan dari industri restorasi bangunan, kerajinan bernilai tinggi, dan pasar ekspor yang menghargai karakteristik kayu tua yang tahan lama. | ||
+ | |||
+ | ===== Pemanfaatan Tanaman berkayu di Lahan Gambut ===== | ||
+ | |||
+ | Pemanfaatan tanaman berkayu di lahan gambut memiliki nilai strategis baik dari sisi ekonomi, ekologi, maupun sosial. Tanaman berkayu seperti Melaleuca leucadendra (gelam), //Dyera polyphylla// | ||
+ | |||
+ | Selain itu, pemanfaatan tanaman berkayu juga berperan dalam rehabilitasi lahan gambut terdegradasi melalui pendekatan agroforestri dan paludikultur, | ||
+ | |||
+ | ===== Peran Sosial dan Ekonomi ===== | ||
+ | |||
+ | Bagi banyak masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan gambut dan hutan rawa, kegiatan bekayu yakni pencarian dan penggalian kayu terendam di dalam tanah gambut, telah menjadi mata pencaharian alternatif yang krusial, terutama bagi mereka yang tidak memiliki lahan pertanian atau akses terhadap pekerjaan formal. Aktivitas ini tidak hanya menyediakan penghasilan harian, tetapi juga menjadi “penyelamat ekonomi” saat musim paceklik atau ketika harga komoditas pertanian anjlok. | ||
+ | |||
+ | Dalam wawancara lapangan yang dilakukan oleh El Amady (2014), seorang pelaku bekayu di Riau menyatakan, “Kalau tidak ada kayu ini, anak saya tidak bisa sekolah. Waktu harga karet jatuh, hanya dari kayu ini kami bisa makan.” Kisah seperti ini mencerminkan bagaimana bekayu menjadi bentuk adaptasi ekonomi masyarakat terhadap tekanan struktural dan keterbatasan akses terhadap sumber daya produktif lainnya. Meskipun pekerjaan ini berat dan penuh risiko termasuk ancaman kebakaran lahan dan kerusakan ekologis, banyak pelakunya tetap bertahan karena tidak ada alternatif yang lebih layak secara ekonomi. | ||
+ | |||
+ | ===== Risiko dan Dampak Lingkungan ===== | ||
+ | |||
+ | Kegiatan penggalian kayu di lahan gambut, seperti praktik bekayu, membawa risiko lingkungan yang signifikan jika tidak dilakukan secara hati-hati dan terencana. Salah satu dampak utama adalah subsiden atau penurunan permukaan tanah gambut akibat terganggunya struktur lapisan organik yang selama ini terjaga dalam kondisi jenuh air. Ketika lapisan gambut dibuka dan terekspos udara, terjadi proses oksidasi yang mempercepat dekomposisi bahan organik, melepaskan karbon dioksida ke atmosfer, dan menyebabkan tanah menyusut serta mengeras. | ||
+ | |||
+ | Studi oleh Hooijer //et al//. (2012) menunjukkan bahwa laju subsiden di lahan gambut tropis Indonesia dapat mencapai 4-6 cm per tahun, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan hilangnya fungsi drainase alami serta meningkatkan risiko banjir dan kehilangan produktivitas lahan. Selain itu, penggalian gambut di musim kemarau memperbesar potensi kebakaran lahan, karena lapisan gambut yang kering sangat mudah terbakar dan api dapat menyebar secara bawah tanah, sulit dipadamkan, serta menghasilkan emisi karbon yang masif. Kebakaran ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga berdampak buruk terhadap kesehatan masyarakat dan ekonomi lokal. | ||
+ | ===== Regulasi ===== | ||
+ | |||
+ | Secara hukum, kegiatan bekayu belum secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Kehutanan Indonesia. Namun, aktivitas ini berada dalam wilayah abu-abu regulasi karena menyangkut pemanfaatan sumber daya hutan yang sering kali dilakukan di kawasan hutan negara tanpa izin resmi. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan peraturan turunannya, setiap bentuk pemanfaatan hasil hutan, termasuk kayu bekas, memerlukan izin resmi seperti Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) atau Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK). Sayangnya, masyarakat pelaku bekayu umumnya tidak memiliki akses terhadap skema perizinan tersebut karena keterbatasan informasi, biaya, dan prosedur administratif yang rumit | ||
+ | |||
+ | Di tingkat lokal, beberapa desa mencoba mengatur praktik bekayu melalui Peraturan Desa (Perdes) sebagai bentuk pengakuan terhadap praktik tradisional dan sumber penghidupan masyarakat. Namun, Perdes hanya memiliki kekuatan hukum terbatas dan harus tunduk pada peraturan yang lebih tinggi dalam hierarki perundang-undangan. | ||
+ | |||
+ | Tantangan utama yang dihadapi masyarakat adalah sulitnya memperoleh akses legal ke kawasan hutan, terutama karena status kawasan yang belum jelas atau tumpang tindih dengan izin konsesi perusahaan. Selain itu, pengangkutan kayu hasil bekayu sering kali terhambat karena tidak memiliki dokumen legal seperti Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH), yang menyebabkan masyarakat rawan terkena razia atau tekanan dari aparat penegak hukum. Dalam beberapa kasus, masyarakat bahkan mengalami kriminalisasi karena dianggap melakukan pembalakan liar, meskipun aktivitas mereka bersifat subsisten dan tidak merusak tegakan hutan hidup.\\ | ||
+ | \\ | ||
+ | Situasi ini menunjukkan perlunya pendekatan regulasi yang lebih inklusif dan berbasis keadilan ekologis, yang mengakui praktik bekayu sebagai bagian dari strategi bertahan hidup masyarakat marginal di lahan gambut. Penguatan kelembagaan desa, pengakuan hak kelola masyarakat adat, serta penyederhanaan akses izin berbasis komunitas menjadi langkah penting untuk menjembatani antara legalitas formal dan realitas sosial-ekonomi di lapangan. | ||
+ | |||
+ | ===== Pustaka ===== | ||
+ | |||
+ | Saito, H., et al. (2016). Tropical Peatland Forestry: Toward Forest Restoration and Sustainable Use of Wood Resources in Degraded Peatland. In Tropical Peatland Ecosystems (pp. 513–549). Springer. | ||
+ | |||
+ | Bakce, D. (2021). Utilization of Peatlands Based on Local Wisdom and Community Welfare in Riau Province, Indonesia. Academia.edu | ||
+ | |||
+ | UNEP. (2021). Economics of Peatlands Conservation, | ||
+ | |||
+ | Norisada, M., et al. (2012). A Sustainable Woody Biomass Production System for Tropical Peatlands. International Peatland Society. | ||
+ | |||
+ | Good News From Indonesia. (2024, October 25). Mengenal flora endemik Pulau Kalimantan, harta karun tropis Indonesia. Retrieved July 8, 2025, from [[https:// | ||
+ | |||
+ | Hefni, H., Wulandari, C., & Purwanto, R. H. (2012). Optimalisasi pendapatan hutan tanaman Meranti, Pulai, dan Bayur. Jurnal Hutan Tropis Borneo, 4(2), 153–160. Retrieved from [[https:// | ||
+ | |||
+ | Indrayanti, L., Sabarno, Y., & Winarni, N. L. (2019). Peat swamp forest management and indigenous species in Indonesia. Journal of Ecological Engineering, | ||
+ | |||
+ | Medscape Blog. (n.d.). Peatland wood: Anaerobic preservation in wetlands. Retrieved July 8, 2025, from [[https:// | ||
+ | |||
+ | El Amady, M. R. (2014). Tauke dan budaya hutang. AG Litera. Retrieved July 8, 2025, from [[https:// | ||
+ | |||
+ | Hooijer, A., Page, S. E., Canadell, J. G., Silvius, M., Kwadijk, J., Wösten, H., & Jauhiainen, J. (2010). Current and future CO₂ emissions from drained peatlands in Southeast Asia. Biogeosciences, | ||
+ | |||
+ | Saputra, E. (2019). Beyond fires and deforestation: | ||
+ | |||
+ | WRI Indonesia. (2023, October 5). What is peat subsidence and how can countries prevent this environmental disaster? Retrieved July 8, 2025, from [[https:// | ||
+ | |||
+ | MDPI. (2024). Dynamics of peatland fires in South Sumatra in 2019: Role of groundwater levels. Land, 13(3), 373. [[https:// | ||
+ | |||
+ | Wijoyo, S., Salman, R., & Abrianto, B. O. (2017). Making model of village regulation based on good village governance in Indonesia. In Proceedings of the 1st International Conference Postgraduate School Universitas Airlangga (pp. 71–77). Atlantis Press. [[https:// | ||
+ | |||
+ | Isnaini, E., Yanto, M., & Ramadlan, M. A. (2025). The position of the village regulations in the legal system in Indonesia. Jurnal Independent, | ||
- | {{tag> | + | Tambunan, I., Kurnia, E., & Cipto, S. (2023, December 12). Hutan Adat dalam Sengkarut Izin dan Iklim. Kompas. Retrieved from Rainforest Journalism Fund |