Differences
This shows you the differences between two versions of the page.
Both sides previous revision Previous revision Next revision | Previous revision | ||
budaya:besonor [2023/02/03 01:48] – Yusi Septriandi | budaya:besonor [2025/07/15 10:47] (current) – Jihan Sarotama | ||
---|---|---|---|
Line 3: | Line 3: | ||
**Besonor** merupakan salah satu kegiatan yang “identik” dengan masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Besonor merupakan budidaya padi yang dilakukan pada lahan rawa gambut bekas terbakar. Kegiatan sejenis dengan sonor umum dilakukan oleh masyarakat petani di beberapa daerah yang berada di pantai timur Pulau Sumatera. Kegiatan sonor dilakukan dengan menghamburkan benih padi pada lahan gambut bekas terbakar. Setelah benih ditabur, lahan kemudian ditinggalkan tanpa pemeliharaan. Masyarakat kembali lagi ke lokasi besonor sekitar 4 bulan kemudian untuk memanen padi. Pada awalnya besonor dilakukan oleh masyarakat dalam skala kecil setelah terjadi kebakaran di hutan rawa gambut. Kondisi hutan rawa gambut yang masih lembab menyebabkan kebakaran hutan rawa gambut tidak luas, sehingga luasan areal besonor juga terbatas. Budidaya sonor mulai menjadi kegiatan yang mempunyai skala cukup besar dan berulang sejak kebakaran hutan rawa gambut yang terjadi pada musim kemarau panjang tahun 1961 yang berulang pada tahun 1963, 1967, 1969, 1973. Selanjutnya, | **Besonor** merupakan salah satu kegiatan yang “identik” dengan masyarakat di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Besonor merupakan budidaya padi yang dilakukan pada lahan rawa gambut bekas terbakar. Kegiatan sejenis dengan sonor umum dilakukan oleh masyarakat petani di beberapa daerah yang berada di pantai timur Pulau Sumatera. Kegiatan sonor dilakukan dengan menghamburkan benih padi pada lahan gambut bekas terbakar. Setelah benih ditabur, lahan kemudian ditinggalkan tanpa pemeliharaan. Masyarakat kembali lagi ke lokasi besonor sekitar 4 bulan kemudian untuk memanen padi. Pada awalnya besonor dilakukan oleh masyarakat dalam skala kecil setelah terjadi kebakaran di hutan rawa gambut. Kondisi hutan rawa gambut yang masih lembab menyebabkan kebakaran hutan rawa gambut tidak luas, sehingga luasan areal besonor juga terbatas. Budidaya sonor mulai menjadi kegiatan yang mempunyai skala cukup besar dan berulang sejak kebakaran hutan rawa gambut yang terjadi pada musim kemarau panjang tahun 1961 yang berulang pada tahun 1963, 1967, 1969, 1973. Selanjutnya, | ||
- | {{tag> | + | Pada musim kemarau pendek-sedang (3-4 bulan kering pertahun) masyarakat mrmanfaatkan lahan rawa gambut hanya untuk mencari ikan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, |
+ | |||
+ | ===== Sosial dan Ekonomi ===== | ||
+ | |||
+ | Petani kecil di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, memilih metode ini karena biaya input yang sangat rendah—hanya bermodalkan benih dan memanfaatkan lahan gambut bekas terbakar tanpa pemeliharaan intensif. Dalam konteks sosial ekonomi, besonor mencerminkan strategi bertahan hidup di lahan marginal yang tidak cocok untuk pertanian konvensional, | ||
+ | |||
+ | ===== Dampak Terhadap Lahan Gambut ===== | ||
+ | |||
+ | Praktik pembukaan lahan gambut, khususnya melalui metode besonor yang sering melibatkan pembakaran, memiliki dampak ekologis yang serius. Pembakaran lahan secara sengaja, baik terkendali maupun tidak, menyebabkan degradasi struktur tanah gambut yang rapuh dan mempercepat proses subsiden atau penurunan permukaan tanah. Subsiden ini terjadi akibat oksidasi bahan organik, pemampatan, dan pengeringan lahan, yang pada akhirnya mengurangi kemampuan gambut menyimpan air dan meningkatkan risiko kebakaran berulang. Penaburan benih pada lahan pasca-kebakaran, | ||
+ | |||
+ | ===== Peran Perempuan dalam Besonor ===== | ||
+ | |||
+ | Perempuan memiliki peran krusial dalam praktik besonor, terutama di wilayah gambut seperti Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI). Mereka terlibat aktif dalam berbagai tahapan, mulai dari pengumpulan benih padi, persiapan lahan pasca-kebakaran, | ||
+ | |||
+ | ===== Alternatif dan Inovasi Potensial ===== | ||
+ | |||
+ | Penggunaan metode tanam langsung padi tanpa pembakaran, atau dikenal sebagai //zero-burn farming//, mulai diterapkan di berbagai komunitas sebagai alternatif ramah lingkungan dalam pengelolaan lahan gambut. Teknik ini menghindari praktik pembakaran yang lazim dilakukan dalam pembukaan lahan, dan sebagai gantinya, petani menggunakan alat tradisional seperti parang atau arit untuk membersihkan vegetasi, serta memanfaatkan bahan organik sebagai pupuk alami. Di Desa Limbung, Kalimantan Barat, pendekatan ini telah berhasil diterapkan dalam budidaya hortikultura, | ||
+ | ===== Kebijakan ===== | ||
+ | |||
+ | Praktik besonor berada dalam wilayah kebijakan yang kompleks, di mana tradisi lokal bertemu dengan regulasi lingkungan yang semakin ketat. Meskipun Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup secara tegas melarang pembukaan lahan dengan cara membakar (Pasal 69 ayat 1 huruf h), terdapat pengecualian yang memperhatikan kearifan lokal, seperti pembakaran terbatas oleh masyarakat hukum adat dengan luas maksimal dua hektare per kepala keluarga (Pasal 69 ayat 2). Hal ini menempatkan kegiatan besonor dalam zona abu-abu hukum, secara tradisional diterima dan secara legal dibatasi. | ||
+ | |||
+ | Misalnya, penerapan konsep //zero burning policy// dan restorasi berbasis agroforestri dapat menjadi solusi yang lebih berkelanjutan dan diterima oleh masyarakat. Pemerintah juga perlu mengembangkan sistem insentif yang mendorong petani untuk beralih ke metode tanam tanpa bakar, serta memperkuat kelembagaan lokal agar mampu mengelola lahan gambut secara mandiri dan berkelanjutan. | ||
+ | ===== Pustaka ===== | ||
+ | |||
+ | Martin, E. (2020). Regu Peduli Air Gambut. | ||
+ | |||
+ | CIFOR. (2024). Seiring menghilangnya kabut asap di Asia Tenggara, pengelolaan lahan gambut semakin mendesak. | ||
+ | |||
+ | Kompas.com. . (2025, July 2). Dampak Asap Karhutla, Pemkot Pekanbaru Tertutup Informasi Kualitas Udara. | ||
+ | |||
+ | Peteru, S., & Sok, V. (2024). Menuju Asia Tenggara Bebas Kabut Asap. ASEAN Haze Portal. | ||
+ | |||
+ | Jalil, A., & Yesi. (2019). Upaya Pemulihan Ekosistem Gambut Pasca Kebakaran Hutan dan Lahan di Desa Lukun. TALENTA Conference Series. | ||
+ | |||
+ | Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2015). Pedoman Pemulihan Ekosistem Gambut. | ||
+ | |||
+ | CIFOR. (2023). Topik C3 – Kebakaran hutan dan lahan gambut. | ||
+ | |||
+ | CIFOR. (2025). Pelepasan karbon dari tanah gambut dan krisis iklim global.\\ | ||
+ | Kompas.com. . (2024, August 14). BRGM: Restorasi Permanen Jadi Solusi Pemulihan Ekosistem Gambut Berkelanjutan. | ||
+ | |||
+ | CIFOR. (2025). Topik C6 – Penurunan permukaan lahan gambut. | ||
+ | |||
+ | ICCTF. (2024). Pengarusutamaan Gender dalam Tata Kelola Sumber Daya Alam: Inisiasi Kelompok Perempuan dalam Pengelolaan Lahan Gambut. Indonesia Climate Change Trust Fund. | ||
+ | |||
+ | Sigiro, A. N. (2020). Perempuan dan Lahan Gambut. Jurnal Perempuan, 25(1), 1–12. | ||
+ | |||
+ | KBRPrime. (2022, February 22). Peran Perempuan dalam Restorasi Gambut. | ||
+ | |||
+ | Fahruni. (2019). Agroforestri Lahan Gambut Tanpa Bakar. Jurnal Daun, 6(2), 117–128. [[https:// | ||
+ | |||
+ | Purbaningrum, | ||
+ | |||
+ | Kurniaty, M. L., Sibuea, H. P., & Milono, Y. K. (2025). Larangan Pembukaan Lahan dengan Cara Membakar Menurut Pasal 69 Ayat (1) UU No. 32 Tahun 2009. Universitas Pakuan. [[https:// | ||
+ | |||
+ | Hukumonline. (2021, April 21). Bolehkah Membuka Lahan dengan Cara Membakar Hutan?. [[https:// | ||
+ | |||
+ | Raul, S. (2025). Tinjauan Hukum atas Larangan Pembukaan Lahan dengan Sistem Pembakaran Hutan. Lex Privatum, 15(1). [[https:// | ||
+ | |||
+ | Fadlilaw. (2016). Reformulasi Zero Burning Policy Pembukaan Lahan di Indonesia. Kemdikbud. [[http:// | ||
+ | |||
+ | Pemerintah Indonesia. (2024). Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2024 tentang Percepatan Penganekaragaman Pangan Berbasis Potensi Sumber Daya Lokal. [[https:// | ||
+ | |||
+ | Bappenas. (2024). Strategi Pangan Lokal Partisipatif dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. | ||