Differences
This shows you the differences between two versions of the page.
Both sides previous revision Previous revision Next revision | Previous revision | ||
sosialekonomi:paludikultur [2023/04/14 10:14] – Rabbirl Yarham Mahardika | sosialekonomi:paludikultur [2023/04/14 10:23] (current) – Rabbirl Yarham Mahardika | ||
---|---|---|---|
Line 33: | Line 33: | ||
{{https:// | {{https:// | ||
- | Gambar 3. Gelam di Lahan Gambut (bpsilhk-kuok.org) | + | Gambar 3. Gelam di Lahan Gambut ([[https://bpsilhk-kuok.org|https:// |
**3. Rumbia (// | **3. Rumbia (// | ||
Line 59: | Line 59: | ||
Nama daerah balangeran di setiap daerah berbeda. Di Kalimantan dikenal dengan nama belangiran, kahoi, kawi dan di Sumatera dikenal dengan nama belangeran, belangir, melangir. Permudaan alam terdapat bersama-sama dengan jenis lain dalam hutan yang heterogen terutama dengan jenis keruing, tembesu, bintangur, ramin. Balangeran seringkali tumbuh secara berkelompok. Untuk permudaan buatan dapat dilakukan dengan menanam bibit yang tingginya 30-50 cm dengan penanaman di dalam jalur dengan lebar 2-3 m yang telah dibersihkan. Jarak tanam 3 m dengan jarak antar jalur 5-6 m. Pada tanaman muda memerlukan pemeliharaan selama 4-5 tahun. Ketika dewasa memerlukan kondisi cahaya penuh, sehingga diperlukan pemeliharaan dengan membuka ruang tumbuh (Heyne, 1987; BPK Banjarbaru, 2012). | Nama daerah balangeran di setiap daerah berbeda. Di Kalimantan dikenal dengan nama belangiran, kahoi, kawi dan di Sumatera dikenal dengan nama belangeran, belangir, melangir. Permudaan alam terdapat bersama-sama dengan jenis lain dalam hutan yang heterogen terutama dengan jenis keruing, tembesu, bintangur, ramin. Balangeran seringkali tumbuh secara berkelompok. Untuk permudaan buatan dapat dilakukan dengan menanam bibit yang tingginya 30-50 cm dengan penanaman di dalam jalur dengan lebar 2-3 m yang telah dibersihkan. Jarak tanam 3 m dengan jarak antar jalur 5-6 m. Pada tanaman muda memerlukan pemeliharaan selama 4-5 tahun. Ketika dewasa memerlukan kondisi cahaya penuh, sehingga diperlukan pemeliharaan dengan membuka ruang tumbuh (Heyne, 1987; BPK Banjarbaru, 2012). | ||
- | {{https://media.licdn.com/dms/image/C5112AQGEkpM401jA7A/ | + | {{https://wikigambut.id/_media/tumbuhan/bibit_shorea_belangeran.jpeg? |
- | Gambar 6. Belangeran untuk restorasi gambut | + | Gambar 6. Belangeran untuk restorasi gambut |
**Referensi** | **Referensi** | ||
Line 69: | Line 69: | ||
Hyne, K., 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan | Hyne, K., 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Badan Litbang Kehutanan | ||
- | Noor, M. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan, Konservasi | + | Martawijaya, A., Kartasujana, |
Najiyati, S., L. Muslihat, dan I N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests, and Wetlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. | Najiyati, S., L. Muslihat, dan I N.N. Suryadiputra. 2005. Panduan Pengelolaan Lahan Gambut untuk Pertanian Berkelanjutan. Proyek Climate Change, Forests, and Wetlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. | ||
+ | |||
+ | Noor, M. 2010. Lahan Gambut: Pengembangan, | ||
Osaki, M., Nursyamsi, D., Noor, M., Wahyunto., Segah, H. 2016. Peatland in Indonesia. In: Osaki, M. & Tsuji, N. (eds). Tropical Peatlands Ecosystems. Pp: 49-58. Tokyo: Springer. | Osaki, M., Nursyamsi, D., Noor, M., Wahyunto., Segah, H. 2016. Peatland in Indonesia. In: Osaki, M. & Tsuji, N. (eds). Tropical Peatlands Ecosystems. Pp: 49-58. Tokyo: Springer. | ||
Line 80: | Line 82: | ||
Tata, H. L., Susmianto, A. (2016). Prospek Paludikultur Ekosistem Gambut Indonesia. (I. W. S. & M. Dharmawan, Ed.). Forda Press. Retrieved from https:// [[http:// | Tata, H. L., Susmianto, A. (2016). Prospek Paludikultur Ekosistem Gambut Indonesia. (I. W. S. & M. Dharmawan, Ed.). Forda Press. Retrieved from https:// [[http:// | ||
- | |||
- | // | ||