Perikanan di Ekosistem Gambut

Lahan gambut menawarkan berbagai jenis perikanan, mulai dari perikanan tangkap di rawa dan kanal alami, budidaya keramba di pinggir kanal gambut atau danau kecil, hingga tambak udang dan kolam tradisional di dataran rendah gambut. Namun, karakteristik hidrologi dan kimia air gambut sangat memengaruhi keberhasilan budidaya. Air gambut umumnya bersifat asam, dengan pH berkisar antara 3,5 hingga 5,5, akibat akumulasi bahan organik dan pelepasan asam humat serta fulvat dari dekomposisi vegetasi (Page et al., 2011; Urban & Bayley, 1986). Kondisi ini dapat menghambat pertumbuhan ikan dan udang, terutama spesies yang sensitif terhadap pH rendah dan konsentrasi logam terlarut seperti Fe dan Al yang meningkat dalam lingkungan asam (Dasgupta et al., 2015; Pezdir et al., 2024).

Selain itu, fluktuasi ketinggian air akibat musim hujan dan kemarau, serta pengaruh kanal dan drainase, turut menentukan strategi budidaya. Pada musim kemarau, penurunan muka air tanah dapat menyebabkan peningkatan konsentrasi asam dan suhu air, serta risiko kekeringan dan kebakaran lahan gambut (Wösten et al., 2008; Adesiji, 2014). Sebaliknya, pada musim hujan, genangan berlebih dapat mengganggu kestabilan keramba dan tambak, serta memicu pencampuran air yang mengubah kualitas kimia dan oksigen terlarut (Yang et al., 2025). Oleh karena itu, strategi budidaya di lahan gambut perlu mempertimbangkan adaptasi terhadap dinamika air, seperti pemilihan spesies toleran terhadap pH rendah (misalnya ikan gabus dan lele lokal), penggunaan sistem semi-tertutup, serta pengelolaan kanal untuk menjaga muka air optimal.

Ikan-ikan dan krustasea yang umum dibudidayakan atau ditangkap di ekosistem rawa gambut Indonesia memiliki nilai ekonomi dan budaya yang signifikan. Ikan gabus (Channa striata) dikenal sebagai spesies bernilai tinggi karena ketahanannya terhadap kondisi air yang asam dan kandungan albuminnya yang tinggi, menjadikannya bahan baku penting dalam kuliner dan pengobatan tradisional, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Ikan Lele Gambut (Clarias spp.) dan patin (Pangasius spp.) merupakan komoditas budidaya air tawar yang populer karena pertumbuhannya cepat dan adaptif terhadap lingkungan terbatas, termasuk lahan gambut. Lele sering diolah menjadi berbagai masakan khas seperti pecel lele, sementara patin menjadi bahan utama dalam pindang dan gulai di Sumatera Selatan. Ikan rawa seperti sepat dan betok juga memiliki peran penting dalam konsumsi lokal, terutama di desa-desa sekitar rawa gambut, di mana ikan ini ditangkap secara tradisional dan diolah menjadi ikan asin atau digoreng sebagai lauk harian.

Di wilayah pesisir gambut, kepiting rawa gambut dan udang kecil dibudidayakan di tambak-tambak yang terintegrasi dengan sistem mangrove. Kepiting bakau (Scylla serrata) dan udang windu (Penaeus monodon) tidak hanya menjadi komoditas ekspor unggulan, tetapi juga bagian dari tradisi kuliner pesisir seperti kepiting saus Padang dan udang bakar. Budidaya terpadu dengan rehabilitasi mangrove telah dikembangkan untuk menjaga keberlanjutan produksi sekaligus melestarikan ekosistem.

Budidaya lestari di lahan gambut memerlukan pendekatan yang adaptif terhadap karakteristik hidrologi dan kimia air yang unik. Salah satu teknik yang efektif adalah penggunaan keramba apung yang dirancang untuk menyesuaikan dengan fluktuasi muka air gambut, terutama pada musim hujan dan kemarau. Keramba ini memungkinkan pemeliharaan ikan tetap berlangsung meskipun terjadi perubahan ketinggian air, serta meminimalkan risiko kekeringan atau banjir yang dapat merusak sistem budidaya (Hernandes et al., 2023; SMPEI, 2022).

Pendekatan budidaya terintegrasi, seperti kombinasi antara ikan dan tanaman pinggir kanal (misalnya keladi, serai, atau purun), memberikan manfaat ekologis dan ekonomi. Tanaman tersebut berfungsi sebagai penyangga alami yang membantu menyerap nutrien berlebih dari sisa pakan dan metabolit ikan, sekaligus menghasilkan komoditas tambahan yang bernilai jual. Sistem ini juga mendukung prinsip zero-waste dan memperkuat ketahanan pangan lokal (O’Neill et al., 2024; Adriani et al., 2024).

Manajemen pakan alami menjadi kunci dalam mencegah eutrofikasi kanal gambut. Penggunaan pakan berbasis maggot atau pemanfaatan organisme alami seperti plankton dan detritus dapat mengurangi ketergantungan pada pakan komersial yang berisiko mencemari air. Strategi ini juga mendukung efisiensi biaya dan menjaga keseimbangan ekosistem mikro di kanal gambut (Panigoro et al., 2024; FAO, 2021).

Untuk menjaga kualitas air dan mencegah overstocking, teknologi sederhana seperti aerasi manual, biofilter alami, dan pemantauan visual terhadap perilaku ikan dapat diterapkan oleh masyarakat. Sistem bioflok atau keramba berlapis juga mulai dikembangkan untuk meningkatkan efisiensi ruang dan mengurangi limbah organik (Astuti et al., 2023; Sembiring, 2023).

Pengelolaan perikanan di lahan gambut Indonesia tidak hanya bergantung pada kebijakan formal negara, tetapi juga sangat dipengaruhi oleh hukum adat yang telah lama menjadi sistem pengaturan lokal. Hukum adat berperan penting dalam menetapkan zona tangkap tradisional, larangan musim penangkapan, dan aturan alat tangkap, yang bertujuan menjaga keberlanjutan sumber daya ikan dan ekosistem rawa gambut. Contohnya, sistem awig-awig di Lombok Utara menunjukkan bagaimana masyarakat adat menetapkan larangan penangkapan ikan pada waktu tertentu melalui ritual sawen, yang secara efektif mengurangi praktik destruktif seperti pengeboman ikan dan memperkuat ketahanan ekosistem pesisir (Hermansyah & Gurning, 2022). Di wilayah gambut, pendekatan serupa dapat diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan konservasi.

Program restorasi berbasis masyarakat, seperti yang dijalankan oleh BRGM dan didukung oleh CIFOR-ICRAF, telah menunjukkan efektivitas dalam mengintegrasikan pemulihan ekosistem gambut dengan peningkatan kesejahteraan lokal. Melalui pendekatan Participatory Action Research (PAR), masyarakat dilibatkan dalam kegiatan seperti pembasahan kanal, revegetasi, dan pengembangan usaha perikanan berkelanjutan (Purnomo et al., 2024). Dukungan kelembagaan dan pelatihan teknik adaptif, seperti budidaya ikan toleran terhadap air asam dan manajemen pakan alami, menjadi bagian penting dari strategi ini.

Rekomendasi kebijakan mencakup pemetaan zona budidaya berbasis fungsi ekosistem, pelatihan teknik adaptif untuk menghadapi fluktuasi hidrologi gambut, serta integrasi kegiatan perikanan dalam program ekonomi sirkular gambut. Pendekatan ini mencakup pemanfaatan limbah organik untuk pakan alternatif (misalnya maggot), pengolahan hasil perikanan menjadi produk bernilai tambah, dan penguatan rantai pasok lokal yang ramah lingkungan (Adriani et al., 2024; Sustainaqua Indonesia, 2025).

Adesiji, R. (2014). Effects of water table fluctuations on peatland: A review. International Journal of Environmental Studies, 71(4), 1–6. https://www.academia.edu/65022019

Adriani, D., Yazid, M., Riswani, D., Damayanthy, D., Choi, E., & Yang, H. (2024). Livelihood alternatives in restored peatland areas in South Sumatra Province, Indonesia. Land, 13(5), 643. https://doi.org/10.3390/land13050643

Astuti, L. P., Warsa, A., Tjahjo, D. W. H., & Sembiring, T. (2023). Environment-friendly floating net cage culture research in Indonesia. BIO Web of Conferences, 74, 01016. https://doi.org/10.1051/bioconf/20237401016

Dasgupta, S., Siegel, D. I., Zhu, C., Chanton, J. P., & Glaser, P. H. (2015). Geochemical mixing in peatland waters: The role of organic acids. Wetlands, 35, 567–575. https://doi.org/10.1007/s13157-015-0646-2

FAO. (2021). Improved livelihoods through fish farming in blocked peatland drainage canals. Food and Agriculture Organization of the United Nations. https://openknowledge.fao.org

Gustiano, R., Prakoso, V. A., Radona, D., Dewi, R. R. S. P. S., Saputra, A., & Nurhidayat. (2021). A sustainable aquaculture model in Indonesia: Multi-biotechnical approach in Clarias farming. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 718, 012039. https://doi.org/10.1088/1755-1315/718/1/012039

Harmilia, E. D., Khotimah, K., & Nofianti, R. (2024). Optimizing the growth of pangas catfish seeds through the addition of spirulina in feed. Jurnal Lahan Suboptimal, 13(1), 1024–1035. https://doi.org/10.36706/jlso.13.1.1024.655

Hermansyah, B., & Gurning, R. O. S. (2022). Customary law in Indonesia: Do they have a role in the effort to conserve fishery resources? SENTA Maritime Logistic, 41. https://senta.its.ac.id/full_paper/6%20Maritime%20Logistic%20(VI)/SENTA_Maritime%20Logistic_41.pdf

Hernandes, W. S. S., Gilmer, A., Cassidy, J., Byers, V. (2023). Development of sustainable aquaculture in an Irishcutaway peatland: A nature-based approach. International Peatland Congress. https://peatlands.org

Listyanto, N., & Andriyanto, S. (2009). Ikan gabus (Channa striata): Manfaat pengembangan dan alternatif teknik budidayanya. Media Akuakultur, 4(1), 18–25. https://doi.org/10.15578/ma.4.1.2009.18-25

O’Neill, E. A., Jansen, M. A. K., Tiwari, B. K., Fort, A., Clifford, E., Maguire, J. A., & Rowan, N. J. (2024). Development of IMTA-based bioeconomy sites in peatlands. In Degrowth and Green Growth – Sustainable Innovation. https://doi.org/10.5772/intechopen.1007493

Page, S. E., Rieley, J. O., & Banks, C. J. (2011). Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool. Global Change Biology, 17(2), 798–818. https://doi.org/10.1111/j.1365-2486.2010.02279.x

Panigoro, N., Kurniasih, T., Ediwarman, E., Wahyudin, Y., Lesmana, D., Sutisna, E., Pantjara, B., Purba, Y. R., Saptana, S., Ermiati, E., Zulham, A., Lestari, N., & Dody, S. (2024). Optimizing red tilapia aquaculture in peatlands: Evaluating dietary methionine and lysine. AACL Bioflux, 17(5), 2792–2804. https://bioflux.com.ro

Pezdir, V., Serianz, L., & Gosar, M. (2024). Evaluating mineral matter dynamics within the peatland as reflected in water composition. Sustainability, 16(11), 4857. https://doi.org/10.3390/su16114857

Purnomo, H., Puspitaloka, D., Okarda, B., Andrianto, A., Qomar, N., Sutikno, S., Muhammad, A., Basuki, I., Jalil, A., Yesi, Y., Prasetyo, P., Tarsono, T., Zulkardi, Z., Kusumadewi, S. D., Komarudin, H., Dermawan, A., & Brady, M. A. (2024). Community-based fire prevention and peatland restoration in Indonesia: A participatory action research approach. Environmental Development, 50, 100971. https://doi.org/10.1016/j.envdev.2024.100971

Sustainaqua Indonesia. (2025). Aquaculture development program at peat restoration locations in collaboration with Sustainaqua Indonesia Foundation and the Peat and Mangrove Restoration Agency. https://sustainaquaindonesia.org/en/2025/06/04/aquaculture-development-program-at-peat-restoration-locations-in-collaboration-with-sustainaqua-indonesia-foundation-and-the-peat-and-mangrove-restoration-agency/

Urban, N. R., & Bayley, S. E. (1986). The acid-base balance of peatlands: A short-term perspective. In Water, Air, and Soil Pollution, 30, 791–800. https://doi.org/10.1007/978-94-009-3385-9_82

Wösten, J. H. M., Clymans, E., Page, S. E., Rieley, J. O., & Limin, S. H. (2008). Peat–water inter-relationships in a tropical peatland ecosystem in Southeast Asia. International Peat Congress Proceedings, 13, 285–288. https://peatlands.org/assets/uploads/2019/06/ipc2008p285-288-wosten-peat-water-inter-relationships-in-a-tropical-peatland-ecosystem.pdf

Yang, G., Zhang, Y., & Huang, X. (2025). Fluctuations of water table level in a subtropical peatland, Central China. Journal of Earth Science, 36, 441–449. https://doi.org/10.1007/s12583-022-1752-8

Zimmer, M., Schrader, K., & Suantika, G. (2021). Aquaculture research in Indonesia: How sustainable is the production of shrimps and crabs? Leibniz Centre for Tropical Marine Research. https://www.leibniz-zmt.de/en/news-at-zmt/news/news-archive/aquaculture-research-in-indonesia-how-sustainable-is-the-production-of-shrimps-and-crabs.html

  • perikanan_di_ekosistem_gambut.txt
  • Last modified: 2025/07/16 06:29
  • by Jihan Sarotama